Kesultanan Sambas Kesultanan_Sambas

Setelah sempat singgah di Kota Bangun selama sekitar 1 tahun, rombongan Raden Sulaiman yang hijrah dari Panembahan Sambas (Kota Lama) ini kemudian memutuskan untuk menetap dan membuat perkampungan yaitu di suatu tempat di hulu Sungai Subah yang disebut dengan nama Kota Bandir.

Selama Raden Sulaiman dan pengikutnya menetap di Kota Bandir, dari hari kehari semakin banyak orang-orang dari pusat Panembahan Sambas (Kota Lama) yang malarikan diri ke tempat Raden Sulaiman di Kota Bandir. Larinya penduduk Kota Lama ini karena tidak tahan dengan tingkah laku adik Ratu Anom Kesumayuda yaitu Raden Aryo Mangkurat yang selalu membuat keonaran dan kekacauan di dalam negeri Panembahan Sambas. Hal ini menyebabkan semakin hari penduduk Kota Lama semakin sedikit sebaliknya penduduk Kota Bandir semakin banyak.

Setelah lebih dari 3 tahun menetap di Kota Bandir, Ratu Anom Kesumyuda kemudian secara tiba-tiba menemui Raden Sulaiman dimana Ratu Anom Kesumayuda menyatakan bahwa ia dan rombongan besar pengikutnya sedang dalam perjalanan hijrah dari pusat Panembahan Sambas (Kota Lama) untuk kemudian mencari tempat menetap baru di Sungai Selakau karena di Kota Lama Ratu Anom Kesumayuda tidak sanggup mengendalikan tingkah polah Adik yaitu Raden Aryo Mangkurat yang banyak membuat kekacauan sehingga akhirnya berseteru dengan Ratu Anom Kesumayuda. Untuk itu Ratu Anom Kesumayuda menyatakan melepaskan kekuasaannya atas wilayah Sungai Sambas ini dan menyerahkannya (memberikan mandat) kepada Raden Sulaiman untuk menguasai dan mengendalikan wilayah Sungai Sambas. Raden Sulaiman kemudian meminta tanda bukti dari Ratu Anom Kesumayuda atas penyerahan kekuasaan atas wilayah Sungai Sambas ini yang kemudian dituruti oleh Ratu Anom Kesumayuda dengan memberikan pusaka kerajaan sebagai tanda bukti berupa 3 buah meriam lela.

Sekitar 3 tahun setelah menerima mandat ini dan setelah berembuk dengan orang-orangnya serta mempersiapkan segala sesuatunya, Raden Sulaiman kemudian memutuskan untuk mendirikan kerajaan baru yang menguasai wilayah Sungai Sambas dan sekitarnya namun bukan berpusat di Kota Bandir tetapi di tempat baru yaitu tidak jauh daru muara Sungai Teberrau yang disebut dengan nama Lubuk Madung. Maka kemudian pada tahun 1675 M berdirilah kerajaan baru yang bernama Kesultanan Sambas berpusat di Lubuk Madung dengan Raden Sulaiman sebagai Sultan pertama dari Kesultanan Sambas dengan gelar Sultan Muhammad Shafiuddin. Gelar ini mengikuti gelar dari pak mudanya dari sebelah Ibunda (Putri Surya Kesuma) yaitu Sultan Sukadana (Sultan Muhammad Shafiuddin / Digiri Mustika).

Dalam perkembangan awalnya lingkungan di pusat pemerintahan Kesultanan Sambas yang baru berdiri ini sebagian besar adalah orang-orang Jawa dari Panembahan Sambas yang telah masuk Islam ini sehingga kemudian adat istiadat di lingkungan Keraton Kesultanan Sambas saat itu didominasi oleh adat istiadat dan budaya Jawa seperti penamaan gelar-gelar Kebangsawanan dan nama-nama keluarga Kesultanan yang bernuansa budaya Jawa. Namun dalam perkembangan selanjutnya Kesultanan Sambas juga kemudian berhasil merangkul dan membaurkan masyarakat Melayu-Dayak yaitu masyarakat Melayu yang berasimilasi dengan masyarakat Dayak pesisir yang mana kedua suku bangsa ini telah lebih dahulu mendiami daerah pesisir laut di sekitar wilayah Sungai Sambas ini, dengan masyarkat Jawa peninggalan Panembahan Sambas yang kemudian membentuk masyarakat Melayu Sambas hingga saat ini.

Selama menjadi Sultan Sambas di Lubuk Madung, Raden Sulaiman / Sultan Muhammad Shafiuddin I giat mempererat hubungan dengan negeri-negeri leluhurnya yaitu Kesultanan Sukadana dan Kesultanan Brunei. Kesultanan Sukadana adalah leluhur dari pihak Ibundanya yaitu Putri Surya Kesuma (Adik dari Sultan Sukadana yaitu Sultan Muhammad Shafiuddin / Digiri Mustika) sedangkan Kesultanan Brunei adalah leluruh dari pihak Ayahandanya yaitu Sultan Tengah (anak dari Sultan Brunei ke-9 yaitu Sultan Muhammad Hasan), sehingga kemudian pada masa pemerintahan Raden Sulaiman / Sultan Muhammad Shafiuddin I ini terjalin hubungan yang sangat akrab dan baik antara Kesultanan Sambas dengan Kesultanan Brunei dan Kesultanan Sukadana disamping juga mengembangkan hubungan persahabatan dan perdagangan dengan kerajaan-kerajaan lainnya seperti Kerajaan Landak dan Kesultanan Trengganu di Semenanjung Melayu.

Setelah hampir 10 tahun memerintah Kesultanan Sambas di Lubuk Madung, Raden Sulaiman / Sultan Muhammad Shafiuddin I kemudian mempersiapkan anaknya yang sulung yaitu Raden Bima yang sudah dewasa untuk menggantikannya kelak menjadi Sultan Sambas berikutnya. Maka Raden Bima kemudian ditugaskan untuk melakukan kunjungan ke Kesultanan Sukadana dan Kesultanan Brunei. Di Kesultanan Sukadana Raden Bima kemudian menikah dengan adik dari Sultan Sukadana saat itu yaitu Sultan Muhammad Zainuddin yang bernama Putri Ratna Kesuma. Dari pernikahan ini Raden Bima memperoleh seorang anak laki-laki yang diberi nama Raden Mulia atau Meliau. Dari Kesultanan Sukadana Raden Bima pulang ke Kesultanan Sambas dan kemudian melakukan kunjungan ke Kesultanan Brunei.

Di Brunei, Raden Bima mendapat sambutan yang sangat mesra dari Sultan Brunei saat itu yaitu Baginda Sultan Muhyiddin dan para kerabat dari Kakeknya yaitu kerabat Baginda Sultan Tengah yang ada di Brunei. Berbagai hadiah berupa berbagai alat kebesaran kerajaan diberikan Baginda Sultan Muhyiddin kepada Raden Bima berikut anugrah gelaran "Sultan Muhammad Tajuddin" yang diberikan oleh Baginda Sultan Muhyiddin kepada Raden Bima apabila nantinya Raden Bima menjadi Sultan Sambas berikutnya menggantikan Ayahandanya yaitu Raden Sulaiman / Sultan Muhammad Shafiuddin I. Penganugrahan gelaran "Sultan Muhammad Tajuddin" kepada Raden Bima ini dilakukan mengikut adat kebesaran Kesultanan Brunei Darussalam yang bertempat di Istana Kesultanan Brunei pada masa itu.

Sekembalinya Raden Bima dari Brunei yaitu ketika Raden Sulaiman / Sultan Muhammad Shafiuddin I telah memerintah Kesultanan Sambas selama sekitar 10 tahun, maka kemudian pada tahun 1685 M, Raden Sulaiman / Sultan Muhammad Shafiuddin I mengundurkan diri dari Tahta dan mengangkat putranya yaitu Raden Bima sebagai Sultan Sambas ke-2 dengan gelar Sultan Muhammad Tajuddin. Gelaran sesuai dengan gelaran yang diberikan oleh Sultan Brunei yaitu Baginda Sultan Muhyiddin.

Sekitar satu tahun setelah menjadi Sultan Sambas ke-2, Raden Bima / Sultan Muhammad Tajuddin kemudian atas persetujuan dari Ayahandanya (Raden Sulaiman) memindahkan pusat pemerintahan Kesultanan Sambas dari Lubuk Madung ke suatu tempat dipercabangan 3 sungai yang kemudian dikenal dengan nama "Muare Ulakkan" yaitu pada sekitar tahun 1687 M. Muare Ulakkan ini merupakan lokasi percabangan 3 sungai yaitu Sungai Sambas, Sungai Teberrau dan Sungai Subah.

Dari sejak itulah Muare Ulakkan ini menjadi lokasi pusat pemerintahan Kesultanan Sambas secara terus menerus selama sekitar 250 tahun hingga berakhirnya Kesultanan Sambas pada tahun 1944 M.


Sultan Muhammad Ali Shafiuddin I (Pangeran Anom)

Pangeran Anom adalah salah seorang anak dari Sultan Sambas ke-5 yaitu Sultan Umar Aqamaddin II, nama kecilnya adalah Raden Pasu. Ketika Ayahnya (Sultan Umar Aqamaddin II) wafat dalam periode ke-2 pemerintahannya, maka Abang Pangeran Anom yang bernama Raden Mantri menggantikan Ayahnya dengan gelar Sultan Abubakar Tajuddin I (Sultan Sambas ke-7). Sultan Abubakar Tajuddin I ini dengan Pangeran Anom ini adalah saudara kandung satu bapak yaitu Sultan Umar Aqamaddin Ii tetapi berlainan ibu, Sultan Abubakar Tajuddin I adalah anak dari istri pertama (permaisuri) sedangkan Pangeran Anom adalah anak istri Sultan Umar Aqamaddin II yang ke-2.

Pangeran Anom kemudian menjadi Panglima Besar Kesultanan Sambas yang sekaligus juga memimpin satu armada Angkatan Laut Kesultanan Sambas yang terdiri dari 2 kapal layar bertiang 3 lengkap dengan meriam yang didampingi dengan berpuluh-puluh perahu pencalang. Armada Laut Kesultanan Sambas ini dibentuk pada sekitar tahun 1805 M oleh Pangeran Anom bersama dengan Abangnya yang menjadi Sultan Sambas saat itu yaitu Sultan Abubakar Tajuddin I.

Armada Angkatan Laut Kesultanan Sambas ini bertugas untuk menjaga kedaulatan wilayah perairan Kesultanan Sambas saat itu yaitu garis pantai yang membentang dari mulai Tanjung Datuk di utara (diatas Paloh) hingga ke Sungai Duri di sebelah selatan. Armada Angkatan Laut Kesultanan Sambas ini dibentuk setelah seringnya serangan para bajak laut terutama bajak laut yang datang dari perairan Sulu dan pembakangan dari kapal-kapal Eropa khususnya kapal-kapal Inggris yang menolak untuk melakukan aktivitas perdagangan di wilayah Kesultanan Sambas dengan melalui pelabuhan induk Kesultanan Sambas yang berada di Sungai Sambas dimana kapal-kapal Inggris ini dengan lancang langsung mengadakan aktivitas dagang dipelabuhan-pelabuhan Kongsi China di Selakau dan Sedau yang merupakan wilayah Kesultanan Sambas tanpa melalui pelabuhan induk Kesultanan di Sungai Sambas. Kongsi-Kongsi itu adalah perkumpulan orang-orang China yang berkelompok beradasarkan lokasi penambangan emas mereka. Orang-orang China ini didatangkan oleh Sultan Sambas sejak tahun 1750 M yaitu untuk mengerjakan pertambangan emas yang tersebar di wilayah Kesultanan Sambas seperti Monteraduk, seminis, Lara, Lumar dan kemudian juga Pemangkat.

Walaupun telah dibentuk armada angkatan laut Kesultanan Sambas ini, kapal-kapal Inggris masih dengan angkuhnya tetap melakukan aktivitas perdagangan di wilayah Kesultanan Sambas tanpa melalui pelabuhan induk di sungai sambas. Aturan mesti melewati pelabuhan induk ini merupakan aturan tata perdagangan pada Kerajaan di nusantara ini sejak zaman Sriwijaya sehingga sudah merupakan aturan yang sah dan resmi, yaitu apabila ada kapal asing yang tidak mau melewati pelabuhan induk maka kapal itu akan digiring, bila tidak mau digiring maka kapal itu akan diperangi dan bila kapal itu berhasil dikalahkan maka sebagai hukumannya, seluruh awak akan di tawan dan seluruh harta kapal akan dirampas menjadi milik armada Kerajaan yang memiliki wilayah itu.

Tetapi orang-orang eropa khususnya Inggris ini sering meremehkan kedaulatan dan kemampuan kerajaan di nusantara ini yang untuk kasus ini adalah Kesultanan Sambas. Hal ini kemudian membuat sering terjadinya pertempuran Laut antara kapal-kapal Inggris yang juga bersenjatakan meriam itu dengan armada angkatan laut Kesultanan Sambas dibawah pimpinan Pangeran Anom ini dan berkat ketangguhan Pangeran Anom dalam memimpin armada laut Kesultanan Sambas ini, dalam sekitar 4 atau 5 pertempuran laut yang terjadi, seluruhnya dapat dimenangkan oleh armada Pangeran Anom ini.

Hal ini kemudian berlanjut terus hingga kemudian menimbulkan semacam kondisi perang antara Kerajaan Inggris dengan Kesultanan Sambas dimana bila di mana-mana perairan ditemukan kapal Inggris pasti akan diserang oleh armada Kesultanan Sambas di bawah Pangeran Anom ini dan begitu pula sebaliknya. Tercatat dalam sejarah beberapa nama kapal Inggris yang telah ditaklukkan oleh armada laut Kesultanan Sambas ini yaitu kapal tranfers, cendana, dan yang terakhir adalah kapal dengan nama Commerce (yang oleh lidah Melayu Sambas di sebut kerimis).

Tanggal 11 Juli 1831, Sultan Usman Kamaluddin wafat, tahta kerajaan dilimpahkan kepada Sultan Umar Akamuddin III. Tanggal 5 Desember 1845 Sultan Umar Akamuddin III wafat, maka diangkatlah Putera Mahkota Raden Ishaq dengan gelar Sultan Abu Bakar Tadjuddin II. Tanggal 17 Januari 1848 putera sulung beliau yang bernama Raden Afifuddin ditetapkan sebagai putera Mahkota dengan gelar Pangeran Adipati Afifuddin. Tahun 1855, Sultan Abubakar Tadjuddin II diasingkan ke Jawa oleh pemerintah Belanda (kembali ke Sambas tahun 1879).

Sultan Muhammad Shafiuddin II (Pangeran Adipati)

Pangeran Adipati adalah gelar penghormatan untuk Putra Mahkota. Pangeran Adipati yang dimaksud ini adalah Pangeran Adipati Afifuddin yaitu anak dari Sultan Sambas yang ke-11 yaitu Sultan Abubakar Tajuddin II. Sultan Abubakar Tajuddin Ii ini adalah Sultan Sambas terkahir yang berdaulat penuh di dalam Negeri Sambas karena pada masa pemerintahannyalah untuk pertama kalinya Belanda melakukan kudeta terselebung terhadap pemerintahannya melalui sepupu dari Sultan Abubakar Tajuddin II ini yang bernama Raden Tokok' yang kemudian menjadi Sultan Sambas ke-12 dengan gelar Sultan Umar Kamaluddin. Sebelum Sultan Abubakar Tajuddin II terpaksa turun dari tahta Kesultanan Sambas (tahun 1855 M)telah ada kesepakatan antara Sultan Abubakar Tajuddin dengan Raden Tokok' dan Belanda bahwa setelah Raden Tokok' menjadi Sultan Sambas yang akan menjadi Sultan Sambas berikutnya adalah anak dari Sultan Abubakar Tajuddin II yaitu Pangeran Adipati Afifuddin karena dimasa Sultan Abubakar Tajuddin II memerintah, Baginda telah mengangkat anaknya itu sebagai Putra Mahkota. Sejak kudeta terselubung inilah kekuatan Belanda mulai berpengaruh di Kesultanan Sambas sedangkan sebelumnya yaitu dari Sultan Sambas ke-1 (kesatu) (Sultan Muhammad Shafiuddin I) hingga separuh pemerintahan dari Sultan Sambas ke-11 (kesebelas) (Sultan Abubakar Tajuddin II) Sultan-Sultan Sambas berdaulat penuh artinya Kesultanan Sambas selama rentang masa itu tidak ada tunduk ataupun dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan luar manapun termasuk Belanda. Hindia Belanda mulai membuat perwakilannya di Kesultanan Sambas pada tahun 1819 M, namun saat itu Sultan Sambas masih mengendalikan penuh perwakilan Hindia Belanda itu. Pengaruh Belanda mulai berpengaruh di pemerintahan Kesultanan Sambas adalah sejak masa Sultan Sambas ke-12 itu yaitu Raden Tokok' / Sultan Umar Kamaluddin) yang naik tahta Kesultanan Sambas pada tahun 1855 M setelah dengan dukungan Belanda membuat kudeta terselebung terhadap Abang Sepupunya yang saat itu menjadi Sultan Sambas ke-11 (sebelas)yaitu Sultan Abubakar Tajuddin II / Raden Ishaq). Setelah menyelesaikan pendidikannya pada Sekolah Kebangsawanan di Batavia pada tahun 1861, Pangeran Adipati Afiffuddin pulang ke Sambas dan diangkat menjadi Sultan Muda. Baru pada tanggal 16 Agustus 1866 beliau diangkat menjadi Sultan Sambas ke-13 dengan gelar Sultan Muhammad Shafiuddin II. Ia mempunyai dua orang istri. Dari istri pertama (Ratu Anom Kesumaningrat) dikaruniai seorang putera bernama Raden Ahmad dan kemudian diangkat sebagai Putera Mahkota dengan gelar Pangeran Adipati Achmad. Dari istri kedua (Encik Nana) dikaruniai juga seorang putera bernama Raden Muhammad Aryadiningrat. Sebelum sempat menjadi Sultan Sambas, Putera Mahkota yaitu Pangeran Adipati Ahmad wafat mendahului ayahnya (Sultan Muhammad Shafiuddin II). Sebagai penggantinya ditunjuklah anaknya yaitu Raden Muhammad Mulia Ibrahim. Setelah Sultan Muhammad Shafiuddin II telah memerintah selama 56 tahun, Baginda merasa sudah lanjut usia, maka kemudian diangkatlah anaknya yaitu Raden Muhammad Aryadiningrat sebagai Sultan Sambas selanjutnya (Sultan Sambas ke-14) dengan gelar Sultan Muhammad Ali Shafiuddin II.

Kedatangan Jepun

Setelah memerintah kira-kira 4 tahun, Baginda Sultan Muhammad Ali Shafiuddin II wafat. Pemerintahan Kesultanan Sambas diserahkan kepada keponakannya yaitu Raden Muhammad Mulia Ibrahim bin Pangeran Adipati Achmad bin Sultan Muhammad Shafiuddin II menjadi Sultan Sambas ke-15 dengan gelar Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Shafiuddin. Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Shafiuddin inilah, pasukan Jepang masuk ke Sambas. Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Shafiuddin kemudian menjadi salah seorang korban keganasan pasukan Jepang ini yaitu bersama dengan sebagian besar Raja-Raja lainnya yang ada di wilayah Borneo {Kalimantan) barat ini di bunuh pasukan Jepang di daerah Mandor. Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Shafiuddin inilah Sultan Sambas yang terakhir. Setelah Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Shafiuddin terbunuh oleh Jepang, pemerintahan Kesultanan Sambas dilanjutkan oleh sebuah Majelis Kesultanan Sambas hingga kemudian dengan terbentuknya Negara Republik Indonesia, pada tahun 1956 M, Majelis Kesultanan Sambas kemudian memutuskan untuk bergabung dalam Negara Republik Indonesia itu.